Komputerisasi rekam medis sebenarnya
bukan sesuatu yang baru. Pada tahun 1994, MMR UGM pernah mengadakan
seminar bertajuk “Menuju komputerisasi rekam medis”. Saat ini, di klinik yang
khusus melayani para pegawai dan mahasiswa di UGM (GMC= Gadjah Mada Medical
Centre) dokternya tidak lagi menggunakan status rekam medis kertas. Mouse dan
keyboard sudah menggantikan pena untuk mencatat gejala, hasil observasi,
diagnosis sampai dengan pengobatan (lihat catatan Dani Iswara tentang
CPOE di GMC). Namun, hingga kini hanya klinik tersebut satu-satunya
fasilitas kesehatan yang menggunakan rekam medis elektronik (RME) di Jogja.
Meski hanya untuk melayani pasien rawat jalan, itu sudah lumayan.
Pada dasarnya rekam medis elektronik
adalah penggunaan metode elektronik untuk pengumpulan, penyimpanan, pengolahan
serta pengaksesan rekam medis pasien di rumah sakit yang telah tersimpan dalam
suatu sistem manajemen basis data multimedia yang menghimpun berbagai sumber
data medis. Dalam UU Praktik Kedokteran penjelasan pasal 46 ayat (1), yang
dimaksud dengan rekam medis adalah berkas yang berisi catatan dan dokumen
tentang identitas pasien, pemeriksaan, pengobatan, tindakan dan pelayanan lain
yang telah diberikan kepada pasien. Pengertian yang sama juga digunakan pada
Permenkes 269/2008. Jenis data rekam medis dapat berupa teks (baik yang
terstruktur maupun naratif), gambar digital (jika sudah menerapkan radiologi
digital), suara (misalnya suara jantung), video maupun yang berupa biosignal
seperti rekaman EKG.
Yang menjadi pertanyaan adalah, mengapa proses adopsi inovasi RME di Indonesia berjalan lambat? Selain itu, yang tidak kalah pentingnya, bagaimana mempercepatnya?
Yang menjadi pertanyaan adalah, mengapa proses adopsi inovasi RME di Indonesia berjalan lambat? Selain itu, yang tidak kalah pentingnya, bagaimana mempercepatnya?
Alasan klasik
Alasan klasik mengapa RME tidak
berkembang dengan cepat adalah tidak adanya payung hukum yang jelas. Seringkali
muncul pertanyaan, bagaimana perlindungan rumah sakit jika terjadi tuntutan
kepada pasien. Bagaimana keabsahan dokumen elektronik? Jika terjadi kesalahan
dalam penulisan data medis pasien, apakah perangkat elektronik memiliki
fasilitas log untuk tetap dapat mencatat data yang telah dimasukkan sebelumnya
dan tidak menghapus(delete) sehingga tetap bisa dikenali siapa yang
memasukkan data tersebut serta jenis data yang akan diganti? Aspek regulasi dan
legal memang tidak dapat menandingi kecepatan kemajuan teknologi informasi.
Pada penjelasan UU Praktek Kedokteran pasal 46 dimungkinkan rekam medis
tersimpan dalam bentuk elektronik. Tetapi petunjuk teknisnya hingga saat ini
belum dikeluarkan oleh KKI (Konsil Kedokteran Indonesia). KKI sudah
mengeluarkan Manual Rekam Medis, tetapi
itupun belum menjelaskan secara rinci tentang rekam medis elektronik. Baru-baru
ini, Depkes mempublikasikan Permenkes no 269/MENKES/PER/III/2008
tentang Rekam Medis sebagai pengganti Permenkes 749a/Menkes/Per/XII/1989.
Tetapi ini juga tidak memberikan penjabaran secara rinci tentang rekam medis
elektronik. Hanya disebutkan bahwa penyelenggaraan rekam medis dengan
menggunakan teknologi informasi diatur lebih lanjut dengan peraturan tersendiri
(Pasal 2 ayat 2). Di sisi lain, masyarakat banyak berharap dengan UU ITE yang
baru saja disahkan oleh DPR untuk memberikan jaminan hukum terhadap transaksi
elektronik. Tentu saja mengharapkan UU ITE sebagai dasar pelaksanaan rekam
medis elektronik tidak mencukupi.
Di beberapa negara bagian di AS,
beberapa rumah sakit hanya mencetak rekam medis jika akan dijadikan bukti
hukum. Di Wan Fang Hospital, Taipei, meskipun sudah menerapkan rekam medis
elektronik, rumah sakit masih memiliki bagian rekam medis untuk menyimpan hasil
printout setiap data elektronik pasien yang harus ditandatangani oleh dokter.
Persoalan lain adalah ketersediaan
dana. Aspek finansial menjadi persoalan penting karena harus menyiapkan
infrastruktur (komputer, jaringan kabel maupun nir kabel, listrik, sistem
pengamanan, konsultan, pelatihan dan lain-lain). Rumah sakit biasanya memiliki
anggaran terbatas, apalagi untuk teknologi informasi.
Belum prioritas
Semua setuju bahwa bahwa sistem penagihan elektronik (computerized billing system) di rumah sakit merupakan keharusan untuk menjamin manajemen keuangan rumah sakit yang cepat, transparan dan bertanggung jawab. Dalam piramida sistem informasi rumah sakit, billing system merupakan lapisan yang paling dasar alias sistem pengolahan transaksi. Jika billing system merupakan contoh sistem pengolahan transaksi untuk fungsi pelayanan administratif dan keuangan, maka RME adalah contoh sistem pengolahan transaksi untuk fungsi pelayanan medis.
Semua setuju bahwa bahwa sistem penagihan elektronik (computerized billing system) di rumah sakit merupakan keharusan untuk menjamin manajemen keuangan rumah sakit yang cepat, transparan dan bertanggung jawab. Dalam piramida sistem informasi rumah sakit, billing system merupakan lapisan yang paling dasar alias sistem pengolahan transaksi. Jika billing system merupakan contoh sistem pengolahan transaksi untuk fungsi pelayanan administratif dan keuangan, maka RME adalah contoh sistem pengolahan transaksi untuk fungsi pelayanan medis.
Tidak ada kasir rumah sakit yang
menolak pendapat bahwa komputer mampu memberikan pelayanan penagihan lebih
cepat dan efektif dibanding sistem manual. Sebaliknya, berapa banyak dokter dan
perawat yang percaya bahwa pekerjaan mereka akan menjadi lebih cepat, lebih
mudah dan lebih aman dengan adanya komputer?
Ada perawat yang menolak menggunakan
komputer dengan alasan bahwa tugas utama mereka adalah asuhan keperawatan
sedangkan menggunakan komputer merupakan pekerjaan administratif. Sehingga, ada
yang mengatakan bahwa jika generasi dokter yang sudah tua, kolot dan gaptek
berganti dengan dokter muda yang computer literate maka menerapkan RME
menjadi lebih mudah. Akan tetapi, sampai saat inipun masih ada mahasiswa
kedokteran di AS yang menolak ide penerapan RME.
Tantangan
Dalam berbagai kesempatan, seringkali disebutkan bahwa tantangan utama pengembangan sistem informasi di rumah sakit adalah aspek finansial. Hal ini dibuktikan bahwa di berbagai negara, investasi teknologi informasi di rumah sakit rata-rata adalah 2,5% dari total anggaran mereka. Padahal, di sektor lain, dapat mencapai tiga kali lipat. Faktor kedua adalah aspek legal dan security. Masih banyak pihak yang mencurigai bahwa rekam medis elektronik tidak memiliki payung legalitas yang jelas. Hal ini juga terkait dengan upaya untuk menjamin agar data yang tersimpan dapat melindungi aspek privacy, confidentiality maupun keamanan informasi secara umum. Sebenarnya, teknologi informasi memberikan harapan baru, yaitu teknologi enkripsi maupun berbagai penanda biometrik (sidik jari maupun pemindai retina) yang justru lebih protektif daripada tandatangan biasa. Tantangan berikutnya adalah kesiapan pengguna, dalam hal ini adalah tenaga medis. Pengalaman menunjukkan bahwa salah satu pionir pengembangan sistem pakar (expert system) adalah dunia kedokteran. Akan tetapi, sejarah menunjukkan bahwa aplikasi MYCIN (ditemukan pada awal 1970-an oleh Prof. Shortliffe, seorang ahli penyakit dalam dari Stanford University) ternyata tidak banyak diterapkan di dunia medis. Sistem tersebut, yang bertujuan membantu dokter dalam memberikan antibiotik yang tepat sesuai dengan jenis bakterinya, ternyata dianggap lambat, menghambat pekerjaan dokter, dan seakan membodohi dokter. Sistem pakar tersebut dianggap lebih cocok bagi mahasiswa kedokteran atau orang awam yang sama sekali belum pernah mendapatkan pengetahuan mengenai bagaimana memberikan terapi kepada orang sakit.
Beberapa faktor di atas akan diperparah jika manajemen rumah sakit juga tidak memiliki visi dan tujuan yang jelas mengenai pengembangan sistem informasi rumah sakit. Karena pengelolaan teknologi informasi dianggap bukan sebagai core business di rumah sakit, rumah sakit tidak memiliki strategi pengembangan sistem informasi serta strategi pengembangan teknologi informasinya. Banyak rumah sakit di luar negeri sudah memiliki Chief Information Officer (CIO) yang khusus mengelola pengembangan sistem /teknologi informasi rumah sakit. Ketidakjelasan rumah sakit dalam pengelolaan teknologi informasi, akan berakibat pada tidak jelasnya reward dan penghargaan kepada pekerja teknologi informasi. Mereka akan menjadi pekerja yang dianggap setara dengan pekerjaan administratif. Sehingga yang dikhawatirkan adalah sektor kesehatan akan dihindari oleh pekerja teknologi informasi yang unggul.
Dalam berbagai kesempatan, seringkali disebutkan bahwa tantangan utama pengembangan sistem informasi di rumah sakit adalah aspek finansial. Hal ini dibuktikan bahwa di berbagai negara, investasi teknologi informasi di rumah sakit rata-rata adalah 2,5% dari total anggaran mereka. Padahal, di sektor lain, dapat mencapai tiga kali lipat. Faktor kedua adalah aspek legal dan security. Masih banyak pihak yang mencurigai bahwa rekam medis elektronik tidak memiliki payung legalitas yang jelas. Hal ini juga terkait dengan upaya untuk menjamin agar data yang tersimpan dapat melindungi aspek privacy, confidentiality maupun keamanan informasi secara umum. Sebenarnya, teknologi informasi memberikan harapan baru, yaitu teknologi enkripsi maupun berbagai penanda biometrik (sidik jari maupun pemindai retina) yang justru lebih protektif daripada tandatangan biasa. Tantangan berikutnya adalah kesiapan pengguna, dalam hal ini adalah tenaga medis. Pengalaman menunjukkan bahwa salah satu pionir pengembangan sistem pakar (expert system) adalah dunia kedokteran. Akan tetapi, sejarah menunjukkan bahwa aplikasi MYCIN (ditemukan pada awal 1970-an oleh Prof. Shortliffe, seorang ahli penyakit dalam dari Stanford University) ternyata tidak banyak diterapkan di dunia medis. Sistem tersebut, yang bertujuan membantu dokter dalam memberikan antibiotik yang tepat sesuai dengan jenis bakterinya, ternyata dianggap lambat, menghambat pekerjaan dokter, dan seakan membodohi dokter. Sistem pakar tersebut dianggap lebih cocok bagi mahasiswa kedokteran atau orang awam yang sama sekali belum pernah mendapatkan pengetahuan mengenai bagaimana memberikan terapi kepada orang sakit.
Beberapa faktor di atas akan diperparah jika manajemen rumah sakit juga tidak memiliki visi dan tujuan yang jelas mengenai pengembangan sistem informasi rumah sakit. Karena pengelolaan teknologi informasi dianggap bukan sebagai core business di rumah sakit, rumah sakit tidak memiliki strategi pengembangan sistem informasi serta strategi pengembangan teknologi informasinya. Banyak rumah sakit di luar negeri sudah memiliki Chief Information Officer (CIO) yang khusus mengelola pengembangan sistem /teknologi informasi rumah sakit. Ketidakjelasan rumah sakit dalam pengelolaan teknologi informasi, akan berakibat pada tidak jelasnya reward dan penghargaan kepada pekerja teknologi informasi. Mereka akan menjadi pekerja yang dianggap setara dengan pekerjaan administratif. Sehingga yang dikhawatirkan adalah sektor kesehatan akan dihindari oleh pekerja teknologi informasi yang unggul.
Peluang
Beratnya tantangan di atas tidak berarti tidak serta merta menutup peluang yang ada. Dari sisi pengguna, sebenarnya dokter yang semakin computer literate dengan teknologi informasi juga terus meningkat. Di Kanada, lima puluh persen dokter yang berusia di bawah 35 tahun sudah menggunakan PDA. Mereka, sebagian besar memanfaatkannya untuk membaca referensi obat. Hal ini ditunjang dengan munculnya berbagai situs yang menyediakan e-book dan referensi obat yang dapat diinstall ke PDA. Salah satunya adalah epocrates (htttp://www.epocrates.com) yang menyediakan drug reference gratis untuk palmtop. Lainnya, memanfaatkan PDA untuk penjadwalan. Akan tetapi, baru sebagian kecil yang menggunakannya untuk manajemen pasien. Hal ini terkait dengan masih terbatasnya fasilitas yang user friendly untuk entry data pasien melalui PDA. Selain itu, sistem informasi rumah sakit juga harus menyediakan fasilitas untuk sinkronisasi data dari/ke PDA. Oleh karena itu, saat ini aplikasi yang berkembang mengarah kepada teknologi web yang menjanjikan portabilitas data yang lebih baik. Aplikasi ini juga didukung oleh teknologi wireless yang memungkinkan dokter dapat melakukan entry data di samping tempat tidur pasien secara langsung (computerized physician order entry)
Saat ini, penyedia aplikasi sistem informasi klinik sudah semakin banyak (khususnya di luar negeri). Para vendor tersebut juga berkompetisi untuk menunjukkan keunggulannya masing-masing. Vendor sistem informasi rumah sakit ada yang berangkat dari peranannya sebagai penyedia alat-alat medis (medical devices), ada pula yang berbasis pengalaman sebagai pengembangan sistem. Sehingga, ada yang memiliki keunggulan sebagai penyedia sistem informasi laboratorium yang sekaligus menyediakan alat pemeriksaan laboratorium. Ada pula vendor yang menawarkan perangkat keras radiologi digital sekaligus dengan software PACS (picture archiving and communication systems) untuk mendukung sistem radiologi tanpa film konvensional (filmless). Kecenderungan pemanfaatan teknologi elektronik ini juga akan berimbas pada konsep paperless yang ditandai dengan meluruhnya peran kertas (menjadi elektronik) sebagai media perekam medis. Upaya pengembangan sistem informasi klinis ini diharapkan dapat mendongkrak mutu pelayanan (pencegahan kesalahan peresepan obat), produktivitas klinisi (rekam medis dapat diakses secara cepat dan bersama-sama), serta mendorong efisiensi (menghindari permintaan pemeriksaan laboratorium berulang dikarenakan kertas hasil pemeriksaan sebelumnya tercecer).
Bagi rumah sakit yang berbudget terbatas, aplikasi yang bersifat open source pun sebenarnya tersedia. Salah satu diantaranya adalah OpenVistA yang dikembangkan oleh Departement of Veteran Affairs AS dan tersedia dengan harga US$ 25(dua puluh lima dolar). Akan tetapi, dibalik peluang tersebut, sebenarnya masih banyak tantangan lain yang harus diselesaikan. Isu standar pertukaran data, interoperabilitas (antara alat medis dengan komputer maupun perangkat komunikasi) masih menjadi topik yang belum tuntas. Indonesia pun baru mengadopsi standar diagnosis (ICD 10), sedangkan standar yang berkaitan aspek teknologi informasi tersebut masih belum diadopsi. Oleh karena itu, memang benar pendapat salah satu pakar, teknologi informasi di rumah sakit merupakan journey, bukan destination.
Beratnya tantangan di atas tidak berarti tidak serta merta menutup peluang yang ada. Dari sisi pengguna, sebenarnya dokter yang semakin computer literate dengan teknologi informasi juga terus meningkat. Di Kanada, lima puluh persen dokter yang berusia di bawah 35 tahun sudah menggunakan PDA. Mereka, sebagian besar memanfaatkannya untuk membaca referensi obat. Hal ini ditunjang dengan munculnya berbagai situs yang menyediakan e-book dan referensi obat yang dapat diinstall ke PDA. Salah satunya adalah epocrates (htttp://www.epocrates.com) yang menyediakan drug reference gratis untuk palmtop. Lainnya, memanfaatkan PDA untuk penjadwalan. Akan tetapi, baru sebagian kecil yang menggunakannya untuk manajemen pasien. Hal ini terkait dengan masih terbatasnya fasilitas yang user friendly untuk entry data pasien melalui PDA. Selain itu, sistem informasi rumah sakit juga harus menyediakan fasilitas untuk sinkronisasi data dari/ke PDA. Oleh karena itu, saat ini aplikasi yang berkembang mengarah kepada teknologi web yang menjanjikan portabilitas data yang lebih baik. Aplikasi ini juga didukung oleh teknologi wireless yang memungkinkan dokter dapat melakukan entry data di samping tempat tidur pasien secara langsung (computerized physician order entry)
Saat ini, penyedia aplikasi sistem informasi klinik sudah semakin banyak (khususnya di luar negeri). Para vendor tersebut juga berkompetisi untuk menunjukkan keunggulannya masing-masing. Vendor sistem informasi rumah sakit ada yang berangkat dari peranannya sebagai penyedia alat-alat medis (medical devices), ada pula yang berbasis pengalaman sebagai pengembangan sistem. Sehingga, ada yang memiliki keunggulan sebagai penyedia sistem informasi laboratorium yang sekaligus menyediakan alat pemeriksaan laboratorium. Ada pula vendor yang menawarkan perangkat keras radiologi digital sekaligus dengan software PACS (picture archiving and communication systems) untuk mendukung sistem radiologi tanpa film konvensional (filmless). Kecenderungan pemanfaatan teknologi elektronik ini juga akan berimbas pada konsep paperless yang ditandai dengan meluruhnya peran kertas (menjadi elektronik) sebagai media perekam medis. Upaya pengembangan sistem informasi klinis ini diharapkan dapat mendongkrak mutu pelayanan (pencegahan kesalahan peresepan obat), produktivitas klinisi (rekam medis dapat diakses secara cepat dan bersama-sama), serta mendorong efisiensi (menghindari permintaan pemeriksaan laboratorium berulang dikarenakan kertas hasil pemeriksaan sebelumnya tercecer).
Bagi rumah sakit yang berbudget terbatas, aplikasi yang bersifat open source pun sebenarnya tersedia. Salah satu diantaranya adalah OpenVistA yang dikembangkan oleh Departement of Veteran Affairs AS dan tersedia dengan harga US$ 25(dua puluh lima dolar). Akan tetapi, dibalik peluang tersebut, sebenarnya masih banyak tantangan lain yang harus diselesaikan. Isu standar pertukaran data, interoperabilitas (antara alat medis dengan komputer maupun perangkat komunikasi) masih menjadi topik yang belum tuntas. Indonesia pun baru mengadopsi standar diagnosis (ICD 10), sedangkan standar yang berkaitan aspek teknologi informasi tersebut masih belum diadopsi. Oleh karena itu, memang benar pendapat salah satu pakar, teknologi informasi di rumah sakit merupakan journey, bukan destination.
Mempercepat adopsi RME
Untuk mendorong minat dan adopsi RME, manfaat dan potensinya harus terus menerus disosialisasikan. Sebagai contoh, RME mampu menyimpan data pasien dalam jumlah yang besar hanya menggunakan perangkat komputer yang bisa dijinjing. Selain itu, rekam medis elektronik dapat memberikan peringatan jika dokter salah memberikan obat atau ada reaksi antar obat. Dalam konteks ini, sosialisasi RME harus menjadi bagian penting dalam kampanye gerakan keselamatan pasien (patient safety). Ada pula yang menunjukkan kelebihan rekam medis elektronik dalam menyimpan data medis multimedia yang dapat diakses kapan saja dan dimana saja. Meskipun belum ada rekam medis elektronik yang benar-benar sempurna, secara teknologi sebenarnya sudah dalam fase mature.
Untuk mendorong minat dan adopsi RME, manfaat dan potensinya harus terus menerus disosialisasikan. Sebagai contoh, RME mampu menyimpan data pasien dalam jumlah yang besar hanya menggunakan perangkat komputer yang bisa dijinjing. Selain itu, rekam medis elektronik dapat memberikan peringatan jika dokter salah memberikan obat atau ada reaksi antar obat. Dalam konteks ini, sosialisasi RME harus menjadi bagian penting dalam kampanye gerakan keselamatan pasien (patient safety). Ada pula yang menunjukkan kelebihan rekam medis elektronik dalam menyimpan data medis multimedia yang dapat diakses kapan saja dan dimana saja. Meskipun belum ada rekam medis elektronik yang benar-benar sempurna, secara teknologi sebenarnya sudah dalam fase mature.
Kegiatan sosialisasi tidak dapat
berdiri sendiri. Sosialisasi RME harus dilakukan secara terus menerus dan
memerlukan inisiatif tingkat nasional. Jika pemerintah serius menjadikan RME
sebagai kunci untuk meningkatkan mutu pelayanan rumah sakit, maka harus ada tim
yang secara serius merumuskan arah pengembangan RME. Lembaga ini harus berada
di luar Ditjen Yanmed Depkes, tetapi bertanggung jawab ke direktorat tersebut.
Dengan demikian dia tidak akan terbebani dengan kegiatan rutin (misalnya
mengurusi pelaporan rutin rumah sakit). Mengingat sebagian besar rumah sakit di
Indonesia memiliki masalah klasik keterbatasan dana, tim tersebut dapat
merumuskan model standar perangkat lunak RME yang bersifat public domain.
Perangkat lunak tersebut harus mengikuti kaidah-kaidah standar informatika
untuk RME (mulai dari ICD, HL7, LOINC dan berbagai standar lainnya)
Selain membuat perumusan di tingkat
teknis, lembaga tersebut juga semestinya merancang payung hukum yang memberi
jaminan keabsahan informasi rekam medis dalam bentuk elektronik. Hal lain yang
harus dipertimbangkan tentu saja menyangkut aspek keamanan, kerahasiaan dan
privacy informasi medis. Model RME tersebut harus tertuang ke dalam buku putih
yang akan menjadi pegangan bagi setiap stakeholder yang terlibat dalam
pengembangan RME di Indonesia.
Menjadikan RME sebagai bagian dari
kebutuhan dokter merupakan bagian dari proses difusi inovasi. Di setiap
generasi, akan selalu ada early adopters yang akan menjadi pionir dalam
mengadopsi perkembangan terkini. Dia pulalah yang akan menjadi role model bagi
sesama sejawat. Dalam berbagai literatur mengenai keberhasilan adopsi RME,
aspek clinical leadership ini sering mengemuka.
Akhirnya kunci yang paling
menentukan apakah RME akan diadopsi atau tidak terletak pada ada tidaknya
kebutuhan, bukan teknologinya, baik menurut dokter maupun manajemen rumah
sakit. Selama dokter merasa mampu memberikan pelayanan yang terbaik seperti
saat ini, maka proses adopsi akan berjalan lambat. Selama pihak manajemen juga
tidak memiliki persepsi yang positif dan menganggap kebutuhan informasi di
tingkat manajemen hanya berkisar mengenai BOR, LOS, TOI maka RME hanya akan
menjadi wacana.
Sri Sukarmiyati
SISTEM
INFORMASI RM BERBASIS ELEKTRONIK
Berdasarkan
sumber yang saya baca Sistem informasi Rekam medik elektronik(rekam medik
berbasis-komputer) adalah sistem penyimpanan informasi secara elektronik
mengenai status kesehatan serta pelayanan kesehatan,yang diperoleh pasien
sepanjang hidupnya dan tersimpan sedemikian hingga dapat melayani berbagai
pengguna rekam yang sah(Shortliffe, 2001).
Sistem
informasi rekam medik elektronik kini telah banyak diterapkan oleh Rumah
Sakit-Rumah Sakit yang ada di Indonesia sebab telah terbukti memberi kemudahan
pada petugas pelayanan kesehatan,sehingga mempercepat proses yang akan
diperlukan baik bagi pihak rumah sakit maupun bagi pihak pasien tersebut.
Sistem
informasi rekam medik eletronik pada era saat ini sangat membantu kinerja
petugas pelayanan kesehatan karena memberi kemudahan-kemudahan dalam mendata
segala sesuatu tentang pasien untuk dibutuhkan dengan cara yang cepat.
Namun
dibalik kemudahan-kemudahan yang terdapat dalam sistem informasi rekam medik
elektronik terdapat pula kelemahan-kelemahan dalam
mengoperasikannya,seperti:membutuhkan biaya yang tidak sedikit,diperlukan
sistem jaringan serta system. Membangun sistem informasi di rumah sakit dikenal
sangat kompleks, padat karya, dan padat modal. Untuk itu dibutuhkan metode
pembangunan sistem agar dapat menuntun analist sistem untuk menghasilkan sistem
yang standar.
Di dunia
sistem informasi dikenal beberapa metode pembangunan sistem informasi yakni
dengan metode Prototype,metode spiral dan metode daur hidup. Ketiga-tiganya
memiliki kelebihan dan kekurangan yang mengharuskan pengambil keputusan di
tingkat manajerial lebih berhati-hati agar tidak terjadi kondisi “chaos” akibat
sistem tersebut.
Metode
prototype yang akan dibahas dapat memberikan gambaran/ide bagi seorang analist
sistem untuk menyajikan gambaran secara lengkap. Dengan demikian manajer rumah
sakit akan dapat melihat model sistem tersebut baik dari sisi tampilan maupun
teknik prosedural yang akan dibangun. Ada 2 jenis metode prototype yang
dikembangkan yakni metode Prototype pertama lebih singkat dan kurang rinci
dibandingkan metode prototype jenis yang kedua.
Metode Prototype 1 :
1. Mengidentifikasi Kebutuhan pemakai
Analist
sistem melakukan studi kelayakan dan studi terhadap kebutuhan user, yang
meliputi model interface, teknik prosedural maupun teknologi yang digunakan.
2. Mengembangkan Prototype
Analist
sistem bekerja sama dengan programer mengembangkan prototype sistem untuk
memperlihatkan kepada manajer rumah sakit pemodelan yang akan dibangun.
3. Menentukan prototype
Analist
sistem mendeteksi dan mengidentifikasi sejauh mana pemodelan yang dibuat sesuai
dengan harapan user termasuk perbaikan-perbaikan yang diinginkan atau bahkan
harus merombak secara keseluruhan.
4. Penggunaan Prototype
Analist sistem
akan menyerahkan kepada programmer untuk mengimplementasikan model yang
disetujui menjadi suatu sistem.
Selanjutnya
pada metode prototype 2, ditambahkan langkah:
1. Menguji sistem operasional
1. Menguji sistem operasional
Programer
akan melakukan ujicoba dengan data primer maupun sekunder untuk memastikan
bahwa sistem dapat berlangsung dengan baik dan benar.
2. Menentukan sistem Operasional
2. Menentukan sistem Operasional
Pada tahap
ini sudah mulai negosiasi tentang sistem, apakah diterima atau tidak, perlu
dirombak atau diteruskan.
3. Jika sistem telah disetujui , tahap terakhir adalah “Implementasi”
3. Jika sistem telah disetujui , tahap terakhir adalah “Implementasi”
Metode
prototype ini cocok di gunakan untuk pengembangan skala kecil karena kurang
rincinya tahapan yang dilalui dan kurangnya proses dokumentasi.
Keuntungan dan kerugian dengan metode Prototype.
Keuntungan yang diperoleh dengan metode ini:
a. Terjadi komunikasi aktif antara analist , programer, user dan manajer RS
b. User ikut terlibat secara aktif dan partisipatif dalam menentukan model sistem yang digunakan, dengan kata lain “Sistem dengan perspektif pemakai”.
c. Dengan metode ini meningkatkan kepuasan user karena harapan dan keinginan dapat terimplementasi dengan baik, sementara biaya pengembangan sistem menjadi lebih hemat.
Keuntungan yang diperoleh dengan metode ini:
a. Terjadi komunikasi aktif antara analist , programer, user dan manajer RS
b. User ikut terlibat secara aktif dan partisipatif dalam menentukan model sistem yang digunakan, dengan kata lain “Sistem dengan perspektif pemakai”.
c. Dengan metode ini meningkatkan kepuasan user karena harapan dan keinginan dapat terimplementasi dengan baik, sementara biaya pengembangan sistem menjadi lebih hemat.
Kerugian yang dapat terjadi :
a. Kurangnya dokumentasi sehingga bila terjadi kesalahan cukup sulit untuk memperbaikinya.
b. User dalam perjalanan pembangunan sistem mengembangkan ide-ide dan gagasannya sehingga kadang menjadi sangat luas dan sulit untuk diimplementasikan.
a. Kurangnya dokumentasi sehingga bila terjadi kesalahan cukup sulit untuk memperbaikinya.
b. User dalam perjalanan pembangunan sistem mengembangkan ide-ide dan gagasannya sehingga kadang menjadi sangat luas dan sulit untuk diimplementasikan.
0 komentar:
Posting Komentar